Rabu, 30 Mei 2018

Nurul Huda; Masjid yang Dibangun Dari Sprit Gotong Royong


Oleh : Sadri Ondang Jaya

MASJID PERTAMA di Gosong Telaga, Singkil Utara, Aceh Singkil, terletak di Kampung Pasar Lama, Desa Gosong Telaga Selatan.

Konon masjid itu dibangun, dari sprit gotong royong yang digerakan Syekh Jalaluddin Padang Ganting (wafat 2 Safar 1324 H atau tahun 1903).

Di masjid tadi, Syekh Jalaluddin Padang Ganting, mengajarkan ilmu syariat kepada murid-muridnya. Beliau juga, mengajar ilmu aqidah, fikih, dan ilmu keislaman lainnya, tak terkecuali ilmu tarekat.

Di masjid itu pula, Syekh Jalaluddin Padang Ganting mempolarisasi tradisi-tradisi, adat-istiadat, dan pradaban Islam.

Pendeknya tak berlebihan jika dikatakan,  masjidlah wahana yang dijadikan Syekh Jalaluddin untuk menginsyafkan warga Gosong Telaga agar menjadi insan yang beriman dan takwa.

Karena masjid yang dibangun Syekh Jalaluddin, tidak memadai lagi sebagai tempat shalat berjamaah, maka pada tahun 1963, warga membangun masjid lain, yakni di Ujung Tanah, Desa Gosong Telaga Utara. 

Masjid itu, berkonstruksi kayu. Terbuat dari kayu-kayu pilihan, seperti kapur, meranti, damar laut, rasak dan lain-lain.

Kayu itu umumnya, berasal dan diolah dari hutan Gosong Telaga yang ketika itu, terkenal sangat lebat. Sedangkan lantai masjid terbuat dari beton dan beratap seng.

Masjid tanpa nama itu, lebih besar dari masjid semula. Ia memiliki satu kubah yang menjulang  tinggi dan atapnya berundak-undak.

Untuk menyanggah kubah, di tengah-tengah masjid didirikan delapan pilar kayu berkualitas bagus.
Selain itu, arsitektur masjid, dekorasi, ornamen interior dan eksterior dibuat juga dari bahan kayu, diukir relif dan kaligrafi. Sebagaimana lazim bangunan masjid di Pesisir Melayu.  

Melengkapi kesempurnaan masjid, di lokasinya,  dibangun beberapa unit sumur sebagai sumber air bersih dan satu unit kulah besar, tempat  jamaah berwudhuk.

“Masjid Gosong Telaga itu, meskipun sederhana, tapi sangat apik, menarik, dan indah,” begitu tutur warga Gosong Telaga, Syafii kepada penulis.

Persis di belakang masjid, masyarakat membangun sebuah rumah untuk ditempati guru yang sengaja didatangkan ke Gosong Telaga.

Rumah itu djadikan pula sebagai tempat pengajian,  melaksanakan ritual tawajuh, dan kegiatan persulukkan.

Karena penduduk Gosong Telaga bertambah terus. Masjid pun  tak mampu lagi menampung membludaknya jamaah. 

Pada tahun 1980, warga  Gosong Telaga dibawa komando mantan Mukim Gosong Telaga, H Fatani, membangun masjid baru berkonstruksi beton. Dan H. Fatani pula diangkat sebagai Ketua Panitia Pembangunan masjid.

Sedangkan tukang bangunan masjid, dipercayakan pada Angku Sarudung, sosok tukang tiga zaman (masa penjajahan Belanda, Jepang, dan Masa Kemerdekaan).  Angku Tukang ini—begitu warga memanggilnya--berdomisli di Pulo Sarok, Singkil.

Setelah peletakkan batu pertama, masjid yang dulu tanpa nama, lalu oleh Hj Muli, isteri H Fatani, ditabalkan nama Nurul Huda.  Artinya, cahaya petunjuk.

Menariknya, bahan dasar pembangunan Masjid Nurul Huda Gosong Telaga, seperti batu, pasir, dan kayu, diambil  warga secara bergotong royong.

Malah, saat-saat pekerjaan besar, mencor masjid misalnya, warga juga dilibatkan. Termasuk, menanggung dana pembangunan masjid.

Ketika itu, warga Gosong Telaga memberikan dana pembangunan masjid dengan cara bergugu atau meuripeh.

Dari informasi warga Khairul, batu bahan bangunan Masjid Nurul Huda, diambil dari Sungai Aek Sirahar, Kampung Kinali, Barus, Tapanuli. Warga mengambilnya, dengan menggunakan perahu masyarakat.

“Batu itu, diambil berdasarkan inisiatif warga. Biaya operasional ke sana, sepenuhnya ditanggung oleh warga,” tutur Khairul.

Batu itu diambil ke Barus tambah Khairul, dengan menggunakan perahu nelayan. Saat yang dipilih ketika bulan terang, ketika nelayan tidak melaut.

Pada saat itu jumlah perahu masih sangat terbatas, karena  hanya dimiliki oleh orang-orang yang berekonomi menengah ke atas.

Perahu itu, didayung selanjutnya digandeng oleh boat.  Satu perahu mampu mengangkat  batu  ± 3 ton.

Perahu pengangkut batu itu, awal-awalnya ditarik oleh boat perusahaan PT Gunung Raya pulang pergi. Hanya sempat  sekali tarik saja. Sedangkan selanjutnya, ditarik oleh boat yang dimiliki warga Gosong Telag sendiri.

Karena boat telah ada, jika warga yang ingin mengambil batu ke Barus untuk bahan pembangunan masjid selanjutnya,  tak lagi menggunakan perahu. Tetapi sudah menggunakan boat. Apalagi, kapasitas batu yang diangkut sama banyak  dengan yang diangkut perahu, yaitu berkisar  3 sampai 4 ton.

Menariknya, sebelum  “pasukan” pengambil batu berangkat ke Barus,  warga lainnya tak kecuali ibu-ibu, berbondong-bondong mengantarkan mereka di dermaga.

Sembari mengantar, dilaksanakan upacara ritus keagamaan dan adat istiadat setempat, berupa peusejuk, doa, dan kumandang azan terlebih dahulu.

Setelah kembali ke Gosong Telaga, team pengambil batu juga disambut dengan meriah. Di eluh-eluhkan bak pahlawan pulang dari medan laga.

Lalu, batu dalam perahu atau boat dibongkar dan diangkut  oleh warga secara bergotong royong ke lokasi masjid.

Tak terkecuali juga, melibatkan ibu-ibu dan anak-anak sekolah. Semuanya dikerjakan dengan perasaan gembira, senang alang kepalang, dan ikhlas. Mereka bekerja tanpa pamrih demi membangun rumah Allah.

Sedangkan material bangunan lainnya, seperti pasir, diambil dari Kecamatan Simpang Kanan (termasuk Gunung Meriah sekarang), yaitu dari Sungai Salabuan.

Sebagaimana waktu pengambilan batu ke Barus, pengambilan pasir juga dilakukan oleh orang dewasa, pemuda, daan remaja-remaja. Waktunya pun pada saat  bulan terang ketika masyarakat libur melaut.

Pasirnya, tidak diangkut dengan perahu atau dengan boat. Tetapi dengan mobil truk perusahaan PT Gunung Raya Utama Timber, yaitu sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor  dan pengolahan balok .

Kendati pembangunan Masjid Nurul Huda Gosong Telaga tergolong  lamban karena biayanya dari swadaya masyarakat teramasuk pula pengutipan amal laut dari nelayan sebanyak 2-5 % dan sedekah lainnnya.

Namun, semangat gotong rayong, partisipasi, dan keikhlasan dalam membangun majid, perlu dicontoh dan ditumbuh-kembangkan kembali.

Jadikanlah masjid sebagai tempat berdiri sama rata, tanpa mengenal status sosial, kesukuan, dan ras. Terlebih lagi, membangun sprit kegotong-royongan.[]

Kamis, 26 April 2018

Memutar Mundur Jarum Jam Aceh Singkil


Oleh : Sadri Ondang Jaya

Menjelang peringatan Hari Jadi Aceh Singkil ke-19 tahun, (27 April 1999-27 April 2018) dan di saat Aceh Singkil telah mendapat legitamasi dari pemerintah pusat sebagai daerah “4 Ter”: Terpencil, termarginal, termiskin, plus terbanjir (lihat Peraturan Presiden Nomor 131 tahun 2015). Saya teringat dengan keadaan Aceh Singkil  tahun 90-an dan 80-an.
Keadaan itulah yang ingin saya refleksikan dalam tulisan singkat ini. Untuk melihat itu semua, agaknya kita perlu sejenak  memutar mundur jarum jam Aceh Singkil dengan cara  memasuki dan menelusur lorong-lorong waktu.

Aceh Singkil di era 90-an dan 80-an bahkan jauh sebelumnya, terdapat sejumlah perusahaan kayu yang besar dan bonafid. Termasuk juga perusahaan swamill yang tak terhitung jumlah dan tak tahu apa namanya.

Kehadiran perusahaan-perusahaan itu, diakui atau tidak bagi kalangan tertentu, terutama pemilik dan orang yang bekerja di perusahaan, sangat mengembirakan dan menyejaterakan. Sehingga ada ungkapan, untuk mendapatkan uang banyak, jadilah pemilik perusahaan kayu di Aceh Singkil, minimal menjadi pekerja di perusahaan tersebut.  

Ada anekdot, saking banyaknya uang pemilik perusahaan kayu dan swamill di Aceh Singkil—termasuk karyawan-karyawannya--mereka tidak tahu lagi menggunakan dan menyimpan uangnya. Uang itu, tidak dibawa dengan tas atau diisi dalam dompet,  melainkan dimasukkan dalam karung goni bekas tepung terigu cap segitiga. Karung goni itulah yang ditenteng ke pasar atau ke toko, saat mau belanja, misalnya.

Ada cerita lucu, jika uang yang berjibun diminta, tak bakal dikasih. Tetapi kalau uangnya dicuri, tidak apa-apa, asal jangan ketahuan. Karena sipemilik uang, tidak pernah menghitung berapa jumlah uang yang disimpannya.

Uang itu, berasal dari hasil penjualan kayu-kayu ke luar daerah. Sebab ketika itu, perusahaan-perusahaan kayu di Aceh Singkil dengan peralatan modern, menebang, dan mengelola ribuan batang kayu yang sangat berkualitas. Ada jenis kayu meranti, kapur, damar laut, lagan, krueing, dan jenis kayu lainnya. Batang kayu itu dirambah dari kebun rimba raya Aceh Singkil termasuk Subulussalam dengan mengatas namakan HPH-HGU milik mereka.

Setelah kayu yang berukuran besar (gelondongan-balok) itu ditebang dan diolah, lalu truk-truk besar mengangkut dan menumpuknya di padang-padang luas, dekat pinggir sungai yang notabene tak jauh dari pemukiman warga.

Kemudian, kayu gelondongan (balok) dan olahan (beroti) tadi didorong dan dijatuhkan oleh alat-alat berat pula, seperti PH, traktor, exavator dll ke sungai. Oleh tangan-tangan cekatan nan terampil, dirakit dengan menggunakan balabek dan rotan. Sejurus kemudian, kayu-kayu itu dijejarkan dan ditambatkan di sepanjang sungai, sejak hulu hingga hilir. Bahkan, sampai ke muara.

Tak lama kemudian, kayu yang telah dirakit digandeng dan dimuat ke kapal atau tongkang besar yang telah berlabuh di teluk perairan laut Aceh Singkil. Adanya juga yang langsung dimuat ke boat yang bisa sandar ke steker-steker yang terbuat dari kayu.


Setelah petak dan lambung, boat, kapal atau tongkang penuh berisi kayu, boat, kapal, dan tongkang tersebut pun berangkat ke luar daerah. Konon katanya, kayu-kayu itu ada yang dibawa sampai Singapura, Jepang, dan negara-negara Eropa.

Sebagai ilustrasi banyaknya balok dan beroti di Aceh Singkil, ketika itu, apabila rakit-rakit tadi disusun rapi, maka susunan rakit itu akan sampai ke perairan Jepang, akan bisa menjadi jembatan. Apabila orang Singkil mau ke Jepang, mereka cukup meniti di rakit balok-balok tadi.

Sekarang setelah perusahaan-perusahaan kayu itu hengkang dari bumi titisan darah Syekh Abdurrauf, dalam pikiran saya muncul selaksa tanya. Pertanyaan yang teramat mengelitik nurani saya, adalah mengapa keberadaan puluhan perusahaan  kayu di aceh Singkil, ketika itu, belum bisa mengentaskan endemik kemiskinan dan keterbelakangan warga Aceh Singkil.

Padahal omset yang diterima perusahaan tadi, setiap tahunnya, dari penjualan kayu, mencapai triliunan. Kemana uang itu? Mengapa agak sedikit tidak menetes dan mengalir pada warga atau berbekas dalam bentuk bangunan-bangunan yang monumental di Aceh Singkil.

Hutan yang digarap perusahan kayu ini sudah berpuluh tahun. Lalu, hasil hutan itu milik siapa? Kok warga sekelilingnya hidup melarat dan hanya menjadi penonoton belaka.

Bisa diduga, uang tadi, hanya dinikmati  “orang-orang tertentu” dan umumnya berdomisli di luar daerah sana. Sementara warga Aceh Singkil menjadi penonton. Menggigit jari dan hanya mereguk angan belaka.

Bahkan, uang sosial kemasyarakatan yang seharusnya diberikan perusahaan secara berkala setiap tahun, tidak pernah dirasakan dan dinikmati warga. Padahal lokasi operasional perusahaan begitu dekat dengan pemukiman mereka.

Sekarang, justru warga menanggung dampak dari keberadaan perusahaan-perusahaan itu setelah hutan yang ditebangnya tanpa reboisasi: “Jika musim kemarau, panas terik memanggang. Kalau musim penghujan, pemukiman diterjang banjir dan banyak rumah warga direndam air.”

Orang-orang tertentu yang telah menikmati kekayaan alam Aceh Singkil, dalam keadaan banjir ini, hanya berumah “di atas angin” sambil tertawa-tawa sembari mengucapkan kalimat, “Memang gue pikirin. Rasain lu.”

Padahal kekayaan alam Indonesia--termasuk di Aceh Singkil-- seluruhnya diperuntukan demi kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak. Begitu amanah UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Namun apakah amanat itu, hanya sekadar utopia belaka (?)

Memang, ketika itu, ada beberapa warga pribumi yang menjadi buruh atau dipekerjakan di perusahaan  tersebut. Tetapi, mereka hanya buruh lepas (BHL), dengan memeroleh gaji “alakadar”. Perusahaan, tak pernah memberikan tunjangan kesejahteraan, uang lebaran, apalagi pesangon dan uang pensiun kepada mereka.

Jika ada buruh yang kritis, mempertanyakan hal ini, buruh tadi digrogok dengan ancaman diberhentikan kerja. Pemuda-pemuda yang berani dan cerdas kala itu, mulutnya dibungkam dengan cara diberikan beberapa helai kustum, bola kaki, dan bola voli. Ada juga yang diajak “pesta” akhir tahun.

Paling hebat, sebagai pembujuk, perusahaan hanya memberikan beberapa potong pekayuan untuk merehap masjid atau mushala. Ironis memang.

Sekarang perusahaan kayu itu telah hengkang dari Aceh Singkil. Rasanya, tak ada satu pun kenangan yang monumental dan membekas yang ditinggalkan perusahaan. Ia hanya menyisahkan daerah yang setiap tahun diterjang banjir. Dan telah pula menjadikan Aceh Singkil sebagai daerah “4 Ter”. Malah, supremasi itu masih tetap bertengger dalam usia Kabupaten Aceh Singkil ke-19 ini.

Apakah kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada sekarang bertebaran di Aceh Singkil akan demikian pula? Apakah bisa menyejaterakan dan bisa mengangkat harkat dan martabat warga Aceh Singkil secara signifikan?

Bukan justru sebaliknya, memerlebar dan menciptakan jurang pemisah (gap) antara warga dengan pihak perusahaan. Dengan kata lain, warga Aceh Singkil hanya menjadi penonton budiman dibalik “keangkuhan tembok” perusahaan. Perusahaan ada dan banyak, tapi di sekeliling pemuda pemudinya menjadi penganggur. Dan Aceh Singkil tetap berada di titik nadir kemiskinan.

Untuk menjawab itu, warga Aceh Singkil harus bergerak serempak dan mengarah pada perubahan. Terutama yang lebih urgen, perubahan cara berpikir. Harus meninggalkan cara berpikir lama nan usang.

Ada nasihat Peter Drucker, “Bahaya  terbesar dalam turbelensi (menimbulkan gangguan, keresahaan, dan ketidaknyamanan) bukan turbelensi itu sendiri, melainkan ‘cara berpikir kemarin’ yang masih dipakai untuk memecahkan masalah sekarang.”
Warga Aceh Singkil hari ini, jangan pernah mengulang kesalahan masa lalu. Keledai saja, tak pernah terperosok dua kali dalam lubang yang sama. Mengapa kita manusia harus terperosok? Jangankan terperosok dua kali, sekali pun jangan. Camkan itu! []

Sadri Ondang Jaya, adalah guru dan Penulis Buku Singkil
Dalam Konstelasi Sejarah Aceh (SDKSA).

Minggu, 22 April 2018

Kenangan di Pantai, dari Memetik Pidara Hingga Nagkap Ambe-ambe


Salah satu pemukiman yang elok dan rancak di Aceh Singkil, Aceh, adalah pemukiman Gosong Telaga.

Kerancakkan Gosong Telaga ini, bukan saja karena penataan rumah-rumah yang teratur, apik, dan merik. Melainkan juga, pemukiman ini sangat aduhai dan rupawan. Ia memiliki pantai yang indah nan eksotis.

Keindahan Pantai Gosong Telaga ini, menyimpan kenangan tersendiri dalam relung hati saya. Anehnya, kenangan masa silam itu pun, mencuat kembali dalam ingatan, tatkala beberapa hari lalu saya duduk ‘nyantai’ di pondok tepi Pantai Cemara Indah (PCI) Gosong Telaga.

***
Dulu, ketika saya masih bocah, bersama teman-teman saya acap bermain-main di Pantai Gosong Telaga.

Di pantai itu, kami mandi-mandi dibirunya air laut sembari berkejar-kejaran atau sering kami sebut dengan main nenek-nenek.

Jika yang dikejar berhasil ditangkap. Ia akan mengambung, yaitu dengan cara menaikkan kakinya ke atas pundak lalu melemparkan ke udara. Ada pula ‘bayarannya” dengan mengendong sesuai jarak yang disepakati.

Kejar-kejaran terus berlangsung, yang mengejar dan dikejar bergilir, bergantian-gantian. Main kejar-kejaran sangat mengasyikkan. Bisa pula menguat dan membugarkan fisik. Karena dalam permainan ini, ada unsur renang, menyelam, lari, dan unsur mengangkat beban.

Apabila sudah capek mandi-mandi dan bermain kejar-kejaran, kami mengubur badan di pasir, hanya kepala saja yang kelihatan. Ini dimaksudkan, supaya penat di badan hilang. Juga diyakini ampuh membasmi kalau-kalau di badan ada gejala penyakit tulang.

Banyak pula yang mengatakan, menanam badan di pasir apalagi saat panas terik, sangat cocok mengobati penyakit struk dan rematik.

***
Tidak ketinggalan, ada pula di antara kami, bermain luncuran menggunakan potongan papan berukuran setengah-satu meter. Papan tadi dipegang, lantas begitu ombak besar menghadang, papan dinaiki dengan cara memeluk dan mengarakan ke tepi pantai bersamaan dengan derasnya arus air laut.

Kalau sudah demikian, badan pun meluncur dan dibiarkan diterpa ombak hingga  hanyut  ke bibir  pantai.

Saat di ketinggian, nikmatnya tak terkira, seolah-olah kita berada di udara. Ada perasaan gigil dan gamang. Namun, mengasyikan.

***
Selain itu, kami juga mencari buah pidara (bidara/pidaro) yang batangnya banyak merimbun, tumbuh di sepanjang  pinggir pantai. Batang pidaro ini, pohonnya merampak, bercabang-cabang kecil, dan tak terlalu tinggi.

Jika musim berbuah, buahnya sangat lebat. Nyaris sama banyak dengan daunnya yang bewarna kuning kehijau-hijauan.

Kalau mau memetik buah, cukup menjulurkan tangan. Namun, mesti hati-hati karena cabang dan ranting-ranting pidara ini banyak ditumbuhi duri.

Kalau buahnya sudah matang, waduh enaknya bukan kepalang. Rasanya manis, asam, asin, dan kelat, bak permen Nano-Nano yang di perjual-belikan di kios-kios.

Pokoknya, rasanya banyak orang  suka. Belum dicicipi, mencium aromanya saja telah membangkitkan selera, mengundang  air liur pasang dan meleleh.

Buah pidara ini, bentuknya bulat, kecil sebesar buah kelengkeng dan tak berkulit. Permukaan buahnya, itulah daging buah, yang tebalnya beberapa milimeter saja.

Daging buah inilah yang banyak digemari orang, terutama wanita-wanita yang sedang hamil muda dan orang yang mulutnya dalam keadaan pahit sehabis demam.

Sesudah daging buah, lalu bijinya yang ditutupi  tempurung. Biji inilah, yang kemudian yang akan berkecamba, membentuk  pohon pidara baru.

***
Konon pidara ini, asal mulanya bukanlah tanaman tepi pantai. Melainkan, tumbuhan semak yang banyak tumbuh di pinggir oase-oase di Negara Timur Tengah. Entah siapa yang membawanya ke Gosong Telaga, tak tahulah kita. Yang jelas, tumbuhan ini berkembang biak dan tumbuh subur di Gosong Telaga.

“Dari sekian banyak pinggir pantai yang  telah saya kunjungi, saya tidak pernah menemui dan mendengar ada pohon pidara seperti di Gosong Telaga itu,” ucap Rosalita.

Rosalita (32 tahun) yang katanya berasal dari Sulawesi ini mengisahkan pengalaman pertama kali makan buah pidara. 

“Semulanya saya enggan memakannya, seperti makanan burung saja.  Tetapi ketika saya lihat keponaan saya memakan dengan lahapnya sambil mencecah dengan bumbu garam diaduk dengan cabe rawit, saya menjadi selera, lantas mencicipinya. Setelah saya makan. Eheem enak tak terkira. Makan lagi, dua, tiga dan empat buah. Saya pun langsung kesemsem. Enaaak ah,” tutur Rosalita.

Namun sayang, tumbuhan khas Gosong Telaga ini, sudah mulai langka. Populasinya mulai berkurang karena dihantam oleh gelombang tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 dan gempa Nias yang terjadi 28 Maret 2005 silam.

Di samping itu, banyak yang sudah ditebang dan penanam kembali tak pernah ada. Kalau ini tidak cepat dilestarikan dengan cara reboisasi, maka buah pidara akan menjadi kenangan. Bibir takkan bisa lagi mencicipinya.
Oleh : Sadri Ondang Jaya

SELAIN MANDI-MANDI dan mencari buah pidara di pantai Gosong Telaga, kami juga acap mencari dan menangkap burung. Ada burung punai (keroco), burung balam, berujuk, pipit, dan jenis lainnya.

Umumnya, burung-burung itu, membuat sarang dan bermain-main di seputar semak-semak. Kalau burung-burung itu berhasil kami tangkap, ada yang memeliharanya dengan cara mengurung di sangkar pelepah rumbia.

Burung-burung tadi,  ada juga yang kami potong. Lalu dibakar. Setelah matang, kami pun memakan dengan lahapnya. Waduh rasa dagingnya, luar biasa gurihnya. Enaaak tenan.

***
Di bibir pantai Gosong Telaga ini, juga banyak jenis kepiting yang kami sebut dengan ambe-ambe dan sigugu. Biota laut ini, acap bersenda gurau dan bekejar-kejaran dengan gerigi air. Mereka bersarang dengan cara menggali tanah yang tidak terlalu jauh dengan bibir pantai.

Ambe-ambe itu kami tangkap dan lalu kami laga. Setelah kepiting capek dan enggan berlaga, kami pun membuangnya begitu saja. Ada yang kembali ke laut dan ada pula yang mati.

Sementara sigugu kami bakar. Saat memakannya, mulut serasa memakan udang. Kata orang kandungan gizinya ok banget dan bisa sebagai obat “penguat”.

Suasana bermain-main  masa anak-anak di pantai Gosong Telaga itu, sungguh mengasyikkan, melambungkan angan menyirat kenangan.[]

SEMOGA BERKAH

Oleh : Irwan Syahputra Lubis

“Semoga Berkah!”
Dua kata itulah yang dituliskan oleh sang penulis, Bapak Sadri Ondang Jaya (SOJ), pada salah satu lembaran buku yang saya beli kepada beliau pagi itu.
Buku yang mengisahkan peranan hebat dua ulama sufi asal Singkil di masa lalu, perjuangan keras rakyat Singkil dalam melawan penjajah(an), kejayaan Singkil di masa itu, serta kisah-kisah menarik lainnya tentang (Aceh) Singkil yang—saya yakin—tidak diketahui oleh banyak orang di masa sekarang.
Buku yang saya maksud tidak lain dan tidak bukan adalah “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh”—atau biasa disingkat dengan “SDKSA”.

***
Semua berawal ketika salah seorang rekan sekerja yang sedang membaca koran bertanya kepada saya, “Wan, Siti Ambia itu nama pahlawan dari Singkil, ya?”

Saya terdiam beberapa saat setelah mendengar pertanyaan “aneh” rekan saya itu. Pertanyaan yang tentu saja membuat saya bingung dan tak tahu harus berkata apa. Karena setahu saya, ‘Siti Ambia’ hanyalah sebuah nama desa di salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Singkil. Di sela kebingungan dan ketidaktahuan saya, saya jawab saja, “Wah, nggak tau, Bang.” Mendengar jawaban itu, rekan saya tadi memberikan koran yang baru saja dibacanya kepada saya, lalu beranjak pergi meninggalkan saya.

Saya baru tahu bahwa ada seorang guru sekolah menengah atas (SMA) di Singkil Utara yang menulis dan menerbitkan sebuah buku berjudul “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh” melalui koran yang saya terima dari rekan saya tadi. “Sadri Ondang Jaya Tulis Buku ‘Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh’”, begitu jika tidak salah judul berita yang tertera di salah satu halaman koran pagi itu.

Dari koran itu pula saya tahu bahwa ternyata benar, nama desa ‘Siti Ambia’ yang ada di kecamatan Singkil itu berasal dari nama srikandi hebat yang ikut andil dalam peperangan Singkil melawan para penjajah di masa lalu.

“Wah, hebat. Harus segera punya nih (buku),” gumam saya dalam hati kala itu.
Karena rasa penasaran dan keinginan saya untuk memiliki buku tersebut, maka saya pun menjelajahi dunia maya untuk mencari tahu informasi mengenai si penulis dan buku yang ditulisnya itu. Benar saja, ketika saya ketikkan judul buku tersebut di mesin pencari (Google), saya menemukan banyak sekali media-media online yang tengah gencar-cencarnya memberitakan kabar serupa dengan apa yang telah saya baca di media cetak sebelumnya.

Dari dunia maya pula (melalui media sosial Facebook), saya menemukan nomor HP penulis, dan memutuskan untuk memesan satu buku yang ingin saya koleksi itu melalui pesan singkat (SMS). Saya ingat betul ketika itu Pak Sadri membalas pesan saya dengan: “Alhamdulillah, dimano alamat?” Pesan itu saya terima pada tanggal 12 Mei 2015 pukul 16:10:24.

Empat hari setelahnya, Sabtu pagi (16 Mei 2015), ketika saya tengah duduk di sebuah kursi plastik di dekat jendela rumah nenek saya sembari membaca buku, tiba-tiba sebuah panggilan masuk melalui telepon genggam saya: “P. SOJ memanggil ... ”

“Assalamu’alaikum, Pak Iwan, di mano kini?” Suara dari ujung telepon bertanya kepada saya.
“Wa’alaikum salam, iko lagi di rumah, Pak.” Jawab saya pendek.

Melalui percakapan itu, Pak SOJ mengabarkan bahwa beliau sudah berada di Kilangan, tepatnya di salah satu warung kecil yang ada di dekat simpang menuju SD Negeri Kilangan.

Mendengar Pak SOJ memanggil saya dengan sebutan “pak”, saya tertawa geli. Barangkali beliau mengira orang yang memesan buku kepadanya beberapa hari lalu adalah seseorang yang telah berkeluarga—padahal saat itu usia saya masih 19 tahun. Hahaha ... Sambil sedikit tertawa, saya pun dengan segera mengambil pulpen di dalam rumah sebelum memutuskan bertemu dengan penulis yang membuat jantung saya sedikit berdebar-debar pagi itu.

Beberapa saat kemudian, saya keluar dari rumah dan berjalan menuju lokasi yang dimaksud Pak SOJ—yang kebetulan tidak berjarak jauh dari rumah orang tua saya. Tiba di warung itu, saya langsung menyalami beliau, dan seorang anak lelaki beliau yang ikut dibawanya kemudian menyalami saya. Di warung itu pula, untuk pertama kalinya saya bertatap muka secara langsung serta berjabat tangan dengan penulis buku SDKSA ini.

Duduk di sebuah bangku panjang, saya dan beliau terlibat sebuah perbincangan yang relatif singkat dan ringan pagi itu. Saya bertanya beberapa hal kecil kepada beliau; karena tahu beliau pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Hasanah yang notabene terletak di kampung Kilangan, saya menanyakan apakah beliau mengenal ayah saya yang dulu pernah mengajarkan mata pelajaran bahasa Inggris di dayah itu—dan ternyata beliau mengenalnya, SDKSA ini buku beliau yang keberapa, disusul beberapa pertanyaan ringan lainnya.

Sebelum Pak SOJ kembali ke kediamannya di kecamatan Singkil Utara, saya mengeluarkan pulpen yang sudah saya siapkan dari saku celana, kemudian meminta agar beliau berkenan membubuhkan tanda tangannya pada buku yang ditulisnya itu. Dan dengan senang hati, beliau pun mengabulkan permintaan saya, lalu menuliskan dua kata (doa): Semoga Berkah!

***
Pada kesempatan yang sama, Pak SOJ menasihati agar saya senantiasa gemar membaca. Kata beliau pula, salah satu ciri daerah maju adalah daerah yang masyarakatnya gemar membaca dan adanya toko buku di daerah itu.

Sementara di daerah kita, atau di kabupaten Aceh Singkil umumnya? Hhm, saya kira kita semua sepakat: kita masih sulit mendapatinya.

Padahal, membaca buku (dan sebagainya) sangat besar manfaatnya bagi kita, di antaranya: membaca dapat melatih kemampuan berpikir, menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, mengurangi stres, mengasah kemampuan menulis, meningkatkan kualitas memori kita, dan membuat kita selalu merasa haus akan ilmu. Tentu saja, kita juga jangan malu untuk bertanya kepada orang yang lebih matang pemikirannya (seperti guru, ustadz, dsb.) apabila kita menemui bacaan yang sulit dimengerti atau dipahami agar tidak “terjebak” pada pemikiran dan pemahaman kita sendiri.

“Bacalah 10 buku,” kata Darwis (Tere Liye) dalam sajaknya, “maka kita akan tiba-tiba merasa sok tahu dan merasa paling pintar. Tapi tahan dulu sok tahunya…. Bacalah 50 buku, maka sok tahu-nya akan mulai berkurang, meski tetap merasa lebih pintar. Tapi juga tetap tahan dulu…. Bacalah 100 buku, maka sok tahu-nya semakin berkurang, pun merasa pintarnya. Tapi tetap tahan dulu…. Bacalah 500 buku, maka kita akan menghela napas panjang, ternyata semakin banyak saja yang tidak kita tahu, semakin merasa belum ada apa-apanya…. Bacalah 1000 buku, dan seterusnya…. Maka itulah kenapa orang-orang yang tidak membaca buku, atau hanya 1-2 buku saja setahun terakhir, jika dia termasuk nyolot, senga, belagu maka posisinya ada di titik paling ekstrem orang-orang sok tahu; itu sudah rumus alam.”

Hal senada juga pernah diucapkan oleh seorang khalifah ‘Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu pada 15 abad silam:

“Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, dia akan sombong. Jika dia memasuki tahapan kedua, ia akan tawaduk. Dan jika memasuki tahapan ketiga, dia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.”

Nah, ketika kita telah menyadari bahwa diri kita memang benar-benar tidak ada apa-apanya, maka insya Allah kita juga akan lebih mudah dalam merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Sang Pencipta. Ingat bahwa salah satu sikap yang paling disukai Ilahi adalah melihat umatNya tunduk bersujud, merendahkan diri dan memujiNya. Dan seperti kata guru saya, “Lihatlah orang bersujud; bahkan, bokongnya pun lebih tinggi posisinya dari hati, kening, dan otak yang selalu mereka banggakan selama ini.”

Selamat berwisata buku, selamat membaca, dan—seperti yang dituliskan Pak SOJ—semoga berkah!
Singkil, 16 Maret 2016
(Twitter: @irwanzah_27)
*Foto bersama SOJ saya ambil dari https://goo.gl/JtMLt6 dengan sedikit perbaikan.
#ISL27

PANORAMA HATTA


Oleh : Sadri Ondang Jaya


Melintasi jalan negara Tapaktuan-Pasie Raja --begitu pula sebaliknya-- kendaraan yang kita tumpangi, pasti meliuk-liuk. Terkadang oleng, ke sebelah kiri dan kanan.
Tak jarang, kendaraan mendaki dan menurun. Mengikuti "lukisan" badan jalan yang keindahannya amat menakjubkan.
Konon, jalan Tapaktuan-Pasie Raja, yang dibangun dengan biaya miliaran rupiah itu, keindahannya yaris sama dengan Jalan Nasional Kelok sembilan di Sumatera Barat.
Kalau pun itu tak diakui, paling tidak,  kedua jalan tersebut sama-sama dibangun di pinggir tebing yang curam dengan menggunakan konstruksi kontilever berteknologi tinggi.

***
Tidak berapa lama menempuh jalan sepanjang 1.800 meter itu, kita "terperogok" dengan sebuah hamparan puncak gunung. Oleh warga setempat,  puncak gunung itu dinamai dengan  Puncak Pintu Angin.

Di Puncak Pintu Angin itulah ada sebuah kafe. Entah milik siapa kafe itu, tak tahulah kita. 
Yang jelas, kafe yang berdiri di hamparan tanah seluasnya 1000 meter, di depan kafe ada pamflet  bertuliskan kalimat Jambo Panorama Hatta.

Setiap hari, banyak pengunjung singgah di kafe itu. Mereka tidak hanya sekadar melepas penat dan lelah sembari mecicipi enaknya kuliner khas Aceh Selatan.

Tetapi juga, di bawah rimbunan pepohonan hijau, mereka bisa menikmati semilir angin sejuk yang bertiup sepoi-sepoi.

Tidak itu saja, jika mata kita melirik ke sebelah kanan lekuk dua gunung. Birahi seni kita akan terangsang  dengan "rancaknya" panorama alam, lembah ngarai Desa Pantai Lhok Rukam.

Anehnya, jika dilihat dari kejauhan rumah-rumah yang di lingkung bukit itu, seolah-olah mau ditelan ombak yang datang berkejar-kejaran ke bibir pasir putih.

***
Menariknya,  bahkan mengundang penasaran. Mengapa jambo di puncak Pengunungan Mata Angin itu, dinamakan Panorama Hatta?

Rupanya, tahun 1953 Drs. Muhammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia pertama, saat berkunjung ke Aceh Selatan, pernah beristirahat sembari menikmati keelokan dan kerancakan pemandangan di kawasan Puncak Pengunungan Mata Angin.

Lalu, sebagai penghargaan terhadap Sang Proklamator, Pemda Aceh Selatan menambalkan tempat persinggahan tersebut dengan nama "Panorama Hatta".

Nama itu, telah menjadi mascot Aceh Selatan. Diyakini ia akan tetap melekat di hati warga dan siapa pun yang pernah ke sana.[]