Oleh : Sadri Ondang Jaya
MASJID PERTAMA di Gosong
Telaga, Singkil Utara, Aceh Singkil, terletak di Kampung Pasar Lama, Desa
Gosong Telaga Selatan.
Konon masjid itu dibangun, dari sprit gotong royong
yang digerakan Syekh Jalaluddin Padang Ganting (wafat 2 Safar 1324 H atau tahun
1903).
Di masjid tadi, Syekh Jalaluddin Padang Ganting, mengajarkan
ilmu syariat kepada murid-muridnya. Beliau juga, mengajar ilmu aqidah, fikih,
dan ilmu keislaman lainnya, tak terkecuali ilmu tarekat.
Di masjid itu pula, Syekh Jalaluddin Padang Ganting
mempolarisasi tradisi-tradisi, adat-istiadat, dan pradaban Islam.
Pendeknya tak berlebihan jika dikatakan, masjidlah wahana yang dijadikan Syekh
Jalaluddin untuk menginsyafkan warga Gosong Telaga agar menjadi insan yang beriman
dan takwa.
Karena masjid yang dibangun Syekh Jalaluddin, tidak
memadai lagi sebagai tempat shalat berjamaah, maka pada tahun 1963, warga membangun
masjid lain, yakni di Ujung Tanah, Desa Gosong Telaga Utara.
Masjid itu, berkonstruksi kayu. Terbuat dari kayu-kayu
pilihan, seperti kapur, meranti, damar laut, rasak dan lain-lain.
Kayu itu umumnya, berasal dan diolah dari hutan
Gosong Telaga yang ketika itu, terkenal sangat lebat. Sedangkan lantai masjid
terbuat dari beton dan beratap seng.
Masjid tanpa nama itu, lebih besar dari masjid
semula. Ia memiliki satu kubah yang menjulang
tinggi dan atapnya berundak-undak.
Untuk menyanggah kubah, di tengah-tengah masjid
didirikan delapan pilar kayu berkualitas bagus.
Selain itu, arsitektur masjid, dekorasi, ornamen
interior dan eksterior dibuat juga dari bahan kayu, diukir relif dan kaligrafi.
Sebagaimana lazim bangunan masjid di Pesisir Melayu.
Melengkapi kesempurnaan masjid, di lokasinya, dibangun beberapa unit sumur sebagai sumber
air bersih dan satu unit kulah besar, tempat
jamaah berwudhuk.
“Masjid Gosong Telaga itu, meskipun sederhana, tapi
sangat apik, menarik, dan indah,” begitu tutur warga Gosong Telaga, Syafii
kepada penulis.
Persis di belakang masjid, masyarakat membangun
sebuah rumah untuk ditempati guru yang sengaja didatangkan ke Gosong Telaga.
Rumah itu djadikan pula sebagai tempat
pengajian, melaksanakan ritual tawajuh,
dan kegiatan persulukkan.
Karena penduduk Gosong Telaga bertambah terus.
Masjid pun tak mampu lagi menampung membludaknya
jamaah.
Pada tahun 1980, warga Gosong Telaga dibawa komando mantan Mukim
Gosong Telaga, H Fatani, membangun masjid baru berkonstruksi beton. Dan H.
Fatani pula diangkat sebagai Ketua Panitia Pembangunan masjid.
Sedangkan tukang bangunan masjid, dipercayakan pada
Angku Sarudung, sosok tukang tiga zaman (masa penjajahan Belanda, Jepang, dan
Masa Kemerdekaan). Angku Tukang ini—begitu
warga memanggilnya--berdomisli di Pulo Sarok, Singkil.
Setelah peletakkan batu pertama, masjid yang dulu
tanpa nama, lalu oleh Hj Muli, isteri H Fatani, ditabalkan nama Nurul
Huda. Artinya, cahaya petunjuk.
Menariknya, bahan dasar pembangunan Masjid Nurul
Huda Gosong Telaga, seperti batu, pasir, dan kayu, diambil warga secara bergotong royong.
Malah, saat-saat pekerjaan besar, mencor masjid
misalnya, warga juga dilibatkan. Termasuk, menanggung dana pembangunan masjid.
Ketika itu, warga Gosong Telaga memberikan dana pembangunan
masjid dengan cara bergugu atau meuripeh.
Dari informasi warga Khairul, batu bahan bangunan
Masjid Nurul Huda, diambil dari Sungai Aek Sirahar, Kampung Kinali, Barus,
Tapanuli. Warga mengambilnya, dengan menggunakan perahu masyarakat.
“Batu itu, diambil berdasarkan inisiatif warga.
Biaya operasional ke sana, sepenuhnya ditanggung oleh warga,” tutur Khairul.
Batu itu diambil ke Barus tambah Khairul, dengan
menggunakan perahu nelayan. Saat yang dipilih ketika bulan terang, ketika nelayan
tidak melaut.
Pada saat itu jumlah perahu masih sangat terbatas,
karena hanya dimiliki oleh orang-orang
yang berekonomi menengah ke atas.
Perahu itu, didayung selanjutnya digandeng oleh
boat. Satu perahu mampu mengangkat batu ±
3 ton.
Perahu pengangkut batu itu, awal-awalnya ditarik
oleh boat perusahaan PT Gunung Raya pulang pergi. Hanya sempat sekali tarik saja. Sedangkan selanjutnya,
ditarik oleh boat yang dimiliki warga Gosong Telag sendiri.
Karena boat telah ada, jika warga yang ingin
mengambil batu ke Barus untuk bahan pembangunan masjid selanjutnya, tak lagi menggunakan perahu. Tetapi sudah
menggunakan boat. Apalagi, kapasitas batu yang diangkut sama banyak dengan yang diangkut perahu, yaitu
berkisar 3 sampai 4 ton.
Menariknya, sebelum
“pasukan” pengambil batu berangkat ke Barus, warga lainnya tak kecuali ibu-ibu,
berbondong-bondong mengantarkan mereka di dermaga.
Sembari mengantar, dilaksanakan upacara ritus
keagamaan dan adat istiadat setempat, berupa peusejuk, doa, dan kumandang azan
terlebih dahulu.
Setelah kembali ke Gosong Telaga, team pengambil
batu juga disambut dengan meriah. Di eluh-eluhkan bak pahlawan pulang dari
medan laga.
Lalu, batu dalam perahu atau boat dibongkar dan
diangkut oleh warga secara bergotong royong
ke lokasi masjid.
Tak terkecuali juga, melibatkan ibu-ibu dan
anak-anak sekolah. Semuanya dikerjakan dengan perasaan gembira, senang alang
kepalang, dan ikhlas. Mereka bekerja tanpa pamrih demi membangun rumah Allah.
Sedangkan material bangunan lainnya, seperti pasir,
diambil dari Kecamatan Simpang Kanan (termasuk Gunung Meriah sekarang), yaitu
dari Sungai Salabuan.
Sebagaimana waktu pengambilan batu ke Barus,
pengambilan pasir juga dilakukan oleh orang dewasa, pemuda, daan remaja-remaja.
Waktunya pun pada saat bulan terang
ketika masyarakat libur melaut.
Pasirnya, tidak diangkut dengan perahu atau dengan
boat. Tetapi dengan mobil truk perusahaan PT Gunung Raya Utama Timber, yaitu
sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor dan pengolahan balok .
Kendati pembangunan Masjid Nurul Huda Gosong Telaga tergolong lamban karena biayanya dari swadaya
masyarakat teramasuk pula pengutipan amal laut dari nelayan sebanyak 2-5 % dan
sedekah lainnnya.
Namun, semangat gotong rayong, partisipasi, dan keikhlasan
dalam membangun majid, perlu dicontoh dan ditumbuh-kembangkan kembali.
Jadikanlah masjid sebagai tempat berdiri sama rata,
tanpa mengenal status sosial, kesukuan, dan ras. Terlebih lagi, membangun
sprit kegotong-royongan.[]